SandiFakta.com – Di tengah gempuran isu tunjangan pejabat, kasus perdagangan orang, dan sorotan terhadap aparat yang represif, publik Indonesia semakin lantang menyuarakan satu hal: keadilan yang sejati masih terasa jauh dari jangkauan.
Gelombang demonstrasi yang melanda berbagai daerah, termasuk Jawa Barat, bukan sekadar reaksi spontan. Ini adalah akumulasi kekecewaan terhadap sistem hukum dan politik yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Aksi joget anggota DPR RI dalam Sidang Tahunan MPR, yang bertepatan dengan isu kenaikan tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan, menjadi simbol ketimpangan empati antara wakil rakyat dan masyarakat yang sedang bergulat dengan tekanan ekonomi.
Di sisi lain, kasus Reni Rahmawati, WNI yang diduga menjadi korban perdagangan orang ke Guangzhou, China, membuka luka lama tentang lemahnya perlindungan negara terhadap warganya. Meski Polda Jawa Barat telah menyatakan komitmen untuk menuntaskan kasus ini, publik bertanya: mengapa kasus seperti ini terus berulang?
Menurut hasil survei pada Mei 2025, meski ada kebijakan populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), tingkat kepercayaan terhadap pemerintah masih terbelah. Banyak warga merasa bahwa kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan rakyat justru tertutup oleh wacana elite yang tidak relevan dengan kebutuhan dasar.
Opini publik hari ini bukan sekadar kritik. Ia adalah cermin dari harapan yang belum terpenuhi. Ketika hukum bisa dibeli, ketika pejabat tak tersentuh, dan ketika korban harus berjuang sendiri, maka keadilan bukan lagi milik semua melainkan hak istimewa bagi segelintir.
Indonesia tidak kekurangan hukum, tetapi kekurangan keberanian untuk menegakkannya secara adil. Opini publik adalah suara nurani bangsa. Dan jika suara itu terus diabaikan, maka demokrasi hanya akan menjadi panggung sandiwara, bukan ruang perjuangan.