SandiFakta.com — Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri menyelesaikan Sidang Kode Etik Profesi terhadap mantan Kapolres Ngada, AKBP FWLS, pada Senin (17/3). Sidang berlangsung di Ruang Sidang Divpropam Polri, Gedung TNCC Mabes Polri, mulai pukul 10.30 hingga 17.45 WIB.
Dalam sidang tersebut hadir perwakilan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Ida dan Chairul Anam, yang turut mengawasi jalannya persidangan. Kehadiran Kompolnas disebut sebagai bentuk penguatan transparansi dan akuntabilitas proses etik.
Karopenmas Divhumas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan, “Kami dari Polri, hari ini didampingi oleh perwakilan Kompolnas yang turut mengawasi perkembangan kasus ini, terutama terkait dengan AKBP FWLS, eks Kapolres Ngada.”
Sidang dipimpin oleh Komisi Kode Etik yang terdiri atas Irjen Pol. Dr. Andes Merisiam, M.Si., Brigjen Pol. Agus Wijayanto, S.H., S.K.M.H., dan sejumlah anggota lainnya. Terdapat delapan saksi yang memberikan keterangan, tiga di antaranya hadir langsung, sementara lima lainnya memberikan kesaksian secara virtual.
Hasil persidangan menyatakan AKBP FWLS terbukti melakukan sejumlah pelanggaran berat, termasuk tindak asusila, perbuatan melanggar hukum, serta penyalahgunaan narkoba. Atas pelanggaran tersebut, sidang menjatuhkan sanksi etik berupa pernyataan perbuatan tercela dan sanksi administratif berupa penempatan di tempat khusus selama tujuh hari, serta pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari kepolisian.
Meski demikian, yang bersangkutan mengajukan banding. Karowabprof Divpropam Polri, Brigjen Pol. Agus Wijayanto, menegaskan bahwa mekanisme banding merupakan hak setiap anggota. “Setelah putusan, pelanggar memiliki hak untuk mengajukan banding sesuai Perpol Nomor 7 Tahun 2022. Saat ini pelanggar telah mengajukan banding dan wajib menyerahkan memori banding,” ujarnya.
Selain proses etik, kasus pidana yang menjerat AKBP FWLS ditangani Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan dukungan Bareskrim Polri. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Bareskrim Polri.
Kasus ini mendapat perhatian sejumlah lembaga, di antaranya Kompolnas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Sosial, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kehadiran berbagai pihak dimaksudkan untuk memastikan penanganan perkara berlangsung sesuai aturan hukum yang berlaku.